- Back to Home »
- Al-Quran , Al-Quran adalah , artikel , islam , pengalamankuliah , Pengetahuan Umum »
- DARI IBADAH INDIVIDUAL MENUJU IBADAH KEMANUSIAAN
Posted by : Iga Daebak
Saturday, 3 October 2015
WELCOME TO
Iga Daebak
( ^_^ )
DARI IBADAH
INDIVIDUAL
MENUJU IBADAH
KEMANUSIAAN
Indonesia
adalah negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Di
negara ini terdapat lebih dari 700 ribu masjid dan jutaan mushalla (tempat
shalat/masjid kecil) yang bertebaran di desa-desa bahkan di tempat-tempat
pendidikan dan pusat-pusat perbelanjaan. Pada setiap bulan Ramadan
tempat-tempat ibadah tersebut ramai dihadiri kaum muslimin untuk mengikuti
salat tarawih. Mereka juga menyambut bulan ramadhan ini dengan berpuasa sebulan
penuh. Sebagian mereka pada malam hari sesudah tarawih, mengadakan “tadarrus”
(membaca al Qur-an) bersama-sama dan berbagai macam shalat sunnah qiyam al
lail. Dan pada akhir ramadhan mereka berbondong-bondong dan serentak
membayar kewajiban zakatnya. Pada musim haji, setiap tahun jumlah kaum muslimin
yang menunaikan ibadah haji lebih dari dua ratus ribu orang dan selalu
menempati posisi terbesar di dunia bahkan sampai melebihi quota yang diberikan.
Fenomena
ritualistik di atas seringkali memberikan kesan umum bahwa masyarakat muslim di
Indonesia adalah masyarakat yang taat beragama sekaligus masyarakat dengan
individu-individu yang saleh. Dalam banyak tradisi, kesalehan individual ini
menjadi ukuran tingkat kwalitas keberagamaan seseorang. Dengan kata lain
intensitas seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agama menunjukkan tingginya
nilai kesalehan atau kebaikan pribadinya.
Secara
normative keadaan ini seharusnya melahirkan realitas-realitas social yang saleh
pula. Akan tetapi apa yang terjadi dalam realitas Indonesia sampai hari ini
adalah sebuah kondisi yang sungguh sangat menyedihkan. Praktek hidup dan
berkehidupan masyarakat memperlihatkan kondisi yang berlawanan dengan
norma-norma agama. Realitas Indonesia adalah bangsa dengan kemiskinan yang
besar sekaligus dengan tingkat korupsi paling tinggi di dunia. KKN merajalela
di mana-mana. Realitas social juga menunjukkan kondisi moralitas yang hancur.
Kekerasan social dan keagamaan, kekerasan seksual, pembunuhan, konflik
berdarah, narkoba dan sejumlah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia
semuanya terjadi hampir setiap hari dan di banyak tempat.
Kesimpulan
yang mudah kita terima adalah bahwa perilaku masyarakat muslim memperlihatkan
wajah-wajah yang paradoks. Ibadah individual seperti shalat, puasa, zakat,
haji, membaca al Qur-an, berzikir, istighatsah dan sejenisnya yang bergemuruh
itu ternyata tidak atau belum merefleksikan makna kesalehan sosial yang berarti
dalam kehidupan masyarakat muslim. Adakah yang salah dalam pemahaman masyarakat
terhadap makna ibadah yang diajarkan agamanya?
Makna
Ibadah
Ibadah
dalam pengertian yang mudah ditangkap oleh masyarakat muslim seringkali
mengambil pengertian yang lebih khusus : pengabdian kepada Tuhan dalam
bentuknya yang palingpribadi yakni ritus-ritus sebagaimana di atas.
Orang sering menyebutnya dengan istilah ibadah mahdhah.
Ketika disebut ibadah maka yang tergambar adalah shalat, puasa, zakat, haji,
zikir dan membaca al Qur-an. Pemahaman ini tentu saja mereduksi secara
besar-besaran makna ibadah dalam pengertiannya yang genuine. Ketika Allah
menyatakan bahwa “jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya” (Q.S. Al
Dzaariyat, dan “semua utusan Tuhan diperintahkan untuk mengajak maniusia
beribadah kepada Allah” (Q.S. Al Bayyinah, ), maka makna ibadah tersebut tidak
mungkin hanya berarti shalat, puasa, zakat, haji, berzikir, membaca al Qur-an
dan sejenisnya. Ini karena kehidupan tidak mungkin hanya untuk berurusan dengan
hal-hal tersebut, melainkan untuk hal-hal yang menyeluruh, mencakup seluruh
aspek yang dibutuhkan manusia seperti berdagang, bertani dan bekerja, mencari
ilmu dan sebagainya guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan itu
sendiri. Jamal al Banna menyimpulkan bahwa ibadah adalah seluruh tindakan amal
yang dicintai Tuhan. (Nahwa Fiqh Jadid, hlm. 64). Al Dailami, mengutip
ucapan Hasan bin Ali bin Abi Thalib mengatakan : “Ada 70 pintu ibadah, dan yang
paling utama adalah mencari kehidupan (rizki) yang halal”.(Kasyf al Khafa II/53).
Adalah juga niscaya bahwa orang tidak bisa hidup sendiri dan tanpa orang lain
yang membantu dan menolong. Karena itu tolong menolong dan kerjasama antara
individu dan antar masyarakat, membantu orang-orang miskin dan orang-orang yang
tertindas, menegakkan keadilan, mendirikan pemerintahan yang bersih dan
sebagainya merupakan hal-hal yang niscaya dan menjadi missi keagamaan dalam
Islam.
Ibadah
adalah membebaskan manusia
Pada
sisi lain sebagaimana diketahui bersama bahwa kehadiran agama yang dibawa para
utusan Tuhan sejatinya dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari system social
yang menindas atas nama kekuatan maupun kekuasaan apapun yang biasanya
dikonstruksi oleh kebudayaan masyarakat. Inti ajaran agama Islam adalah Tauhid.
Ini berarti bahwa hanya Allah saja, Tuhan Yang Maha Besar, Maha Tinggi dan Maha
Absolut. Dengan begitu maka hanya Allah juga satu-satunya yang patut disembah
dan seluruh makhluk (ciptaan Tuhan) menyembah atau mengabdikan seluruh hidupnya
kepada Tuhan. Tuhan sendiri menyatakan hal ini dalam Al Qur-an : “Katakanlah
sesungguhnya shalatku, nusukku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah. Tidak ada
sekutuk bagiNya dan karena itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang yang
pertama menyerahkan diri (kepada-Nya)”.(Q.S. Al An’am, 162-163).
Atas
dasar ini, maka substansi ibadah (pengabdian) kepada Tuhan seharusnya
merefleksikan fungsi-fungsi pembebasan manusia atas manusia yang lain dari
struktur social yang menindas dan menzalimi di satu sisi dan menegakkan
kebenaran, keadilan dan kemakmuran manusia di sisi yang lain. Fungsi-fungsi ini
disebut oleh al Qur-an dengan fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi.(Q.S. Al
Baqarah, ayat 30). Bentuk-bentuk pengabdian kepada Tuhan secara personal
atau ibadah individual sesungguhnya merupakan cara menghadirkan Tuhan dalam
diri masing-masing muslim dan menanamkan kesadaran kepada mereka akan fungsinya
sebagai hamba Tuhan untuk pada gilirannya mampu merefleksikan dan
mengaktualisasikan fungsi-fungsi tersebut di atas dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Ibadah personal dengan begitu sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk
dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan social dan kemanusian yang lebih
luas. Dalam bahasa al Qur-an, Islam dengan seluruh perangkat aturannya
dihadirkan untuk manusia dan untuk mewujudkan kerahmatan dan kemaslahatan
(kebaikan/kesalehan) mereka. Inilah sejatinya makna ibadah dalam Islam.
Effek ganda Ibadah individual
Teks-teks
agama yang berkaitan dengan urusan ibadah individual selalu memperlihatkan
fungsi dan tugas ganda. Pada satu sisi ia merupakan cara manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, membersihkan hati dan membebaskan diri dari
ketergantungannya kepada selain Tuhan, tetapi pada saat yang sama ia menyatakan
tuntutannya kepada manusia untuk melakukan tanggungjawab social dan
kemanusiaan.
Dalam
hal shalat misalnya, al Qur-an menyatakan : “Dan dirikanlah shalat untuk
mengingat-Ku”. Dengan kata lain shalat adalah sarana menghadirkan Tuhan dalam
diri setiap individu. Kesadaran akan kehadiran Tuhan akan menjadikan manusia
selalu menjalani hidupnya dengan kebaikan-kebaikan dan menjauhi
keburukan-keburukan. Hal ini ditegaskan pada ayat al Qur'an yang lain, yang
menyatakan bahwa : “Sesunguhnya shalat mencegah manusia dari berbuat keburukan
dan kemunkaran”. Pernyataan paling jelas diungkapkan dalam surah al Ma’un :
“Apakah kamu mengetahui orang yang mendustakan agama?. Itulah orang yang tidak
perduli terhadap anak yatim, tidak memberikan makan kepada orang miskin. Maka
celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya,
yakni orang yang riya dan orang yang tidak mau memberikan sesuatu yang berguna
(bagi orang lain)”.
Puasa
disamping merupakan proses menghadirkan Tuhan ke dalam diri, ia juga merupakan
cara bagi diri manusia untuk dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungan
egonya yang seringkali menuntut dan mendesakkan kehidupan hedonistic (inna
al nafsa laammarah bi al suu). Al Qur-an sendiri menyatakan dengan sangat
jelas bahwa puasa ramadhan diwajibkan kepada orang-orang yang percaya kepada
Tuhan sebagai cara untuk membentuk dan melahirkan pribadi-pribadi yang
bertaqwa.(Q.S. Al Baqarah 183). Pribadi yang bertaqwa adalah pribadi
yang selalu menjaga diri dari menyakiti orang lain, menghalangi dan merampas
hak-hak orang lain pada satu sisi, dan pribadi yang menyayangi, mengasihi dan
menghormati hak-hak orang lain.
Zakat
dinyatakan oleh Nabi sebagai cara membersihkan diri dari kesalahan dan dosa,
tetapi juga aksi pemberian makan bagi orang-orang miskin dan orang-orang yang
menanggung beban hidup yang berat, yang tertindas dan yang menderita lainnya.
Nabi mengatakan : "Zakat fitrah diwajibkan guna membersihkan hati orang
yang berpuasa dan memberi makan kepada orang-orang yang miskin". Dalam
bahasa yang lebih umum zakat merupakan bentuk paling nyata pribadi-pribadi
muslim untuk mewujudkan solidaritas social dan kemanusiaan.
Haji
di samping dimaksudkan sebagai bentuk penyerahan diri secara total kepada Tuhan
dan tanpa reserve, ia juga merupakan melambangkan kesatuan, kesetaraan dan
persaudaraan umat manusia sedunia.
Dengan
begitu menjadi jelas bahwa kesalehan individual selalu menuntut lahirnya
efek-efek kesalehan social. Ketika ritus-ritus personal tersebut (ibadah
individual) tidak melahirkan efek kesalehan social dan kemanusiaan, apalagi
melahirkan sikap-sikap hidup negatif atau destruktif terhadap kepentingan
sosial kemasyarakatan, maka untuk tidak mengatakan sebagai kesia-siaan, maka ia
dapat dikatakan sebagai sebuah kebangkrutan agama. Nabi saw pernah menyinggung
persoalan ini :
“Apakah anda tahu siapa orang yang
bangkrut?. Para sahabat nabi mengatakan :orang yang
bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya uang dan harta benda.
Nabi bersabda : “Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang
datang pada hari kiamat dengan membawa amalan-amalan ibadah shalat, puasa dan
zakat. Tetapi pada saat yang sama ia juga datang sebagai orang yang pernah
mencacimaki orang lain, menuduh orang lain, makan harta orang lain, mengalirkan
darah orang lain, memukul orang lain. Maka orang-orang lain tersebut (korban)
akan diberikan pahala kebaikan dia (pelaku/al muflis). Ketika seluruh
kebaikannya habis sebelum dia dapat menebusnya, maka dosa-dosa mereka (para
korban) akan ditimpakan kepadanya (pelaku), kemudian dia akan dilemparkan ke
dalam api neraka”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Tirmizi dari
Abu Hurairah.
Dalam
banyak teks agama disebutkan bahwa ibadah individual seperti shalat dapat
dipercepat ketika dia mengetahui ada makmum yang lemah, orang tuan atau sakit.
Nabi saw pernah bersabda :
“Jika
seseorang menjadi imam shalat bagi orang lain, maka hendaklah mempercepat
shalatnya, karena di antara para makmum boleh jadi ada orang yang lemah, orang
yang sakit dan orang tua. Jika dia shalat sendirian maka ia berhak
berlama-lama”.( Bukhari dan Muslim).(Nuzhah al Muttaqin, I/247).
Nabi
juga pernah bersabda : Aku betul-betul ingin shalat berlama-lama. Tetapi aku
kemudian mendengar tangisan seorang bocah. Maka aku segerakan shalatku karena
aku tidak ingin menyusahkan ibunya”. (H. Bukhari).
Menegakkan
keadilan lebih utama dari ibadah individual
Menciptakan
kehidupan yang rukun dan damai dalam masyarakat, menegakkan hukum dan berlaku
adil, dalam banyak teks keagamaan Islam adalah jauh lebih baik daripada ibadah
individual. Nabi saw pernah menyampaikan :
“Maukah
kamu aku tunjukkan sesuatu yang lebih utama nilainya daripada nilai shalat
puasa dan sedekah (zakat)?. Yaitu mendamaikan antar manusia, karena kerusakan
yang ditimbulkan oleh konflik antar mereka adalah kebinasaan agama”. (Al
Munawi, Syarh Al Jami’ al Shaghir, I/197).
“Satu
hari seorang pemimpin bertindak adil terhadap rakyatnya adalah lebih utama
daripada orang yang beribadah selama 60 tahun”.(Hadits Abu Hurairah. Lihat : Al
Sakhawi : Al Maqashid al Hasanah, hlm. 334).
Jihad
(perjuangan) paling utama adalah menyampaikan pesan kebenaran kepada pemerintah
yang zalim”.(Al Munawi, Syarh Al Jami’ al Shaghir, I/81). Dalam riwayat
Thariq bin Syihab : “…. menyampaikan pesan keadilan di hadapan penguasa yang
zalim”.(Kasyf al Khafa, I/154).
Dalam
sebuah hadits disebutkan :
“Barangsiapa
bangun di waktu pagi dan berniat menolong orang yang teraniaya dan memenuhi
keperluan orang Islam baginya pahala yang sama dengan haji mabrur. Hamba Allah
yang paling dicintai adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain
(manusia) dan amal yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia pada
hati orang yang beriman menutup rasa lapar
orang lain, membebaskannya dari kesulitan hidup atau membayarkan utangnya”. (Nashaih
al Ibad hlm. 4).
Ibadah
Sosial lebih luas
Dari
Sumber-sumber Islam baik al Qur-an maupun hadits nabi saw diketahui bahwa
dimensi pengabdian atau ibadah social dan kemanusiaan dalam Islam sesungguhnya
jauh lebih luas dan lebih utama dibandingkan dengan dimensi ibadah personal.
Dalam teks-teks fiqh klasik kita dapat melihat bahwa bidang Ibadat (ibadah
personal) merupakan satu bagian dari banyak bidang keagamaan lain seperti mu’amalat
madaniyah, Hukum Keluarga (al Ahwal al Syakhshiyyah), Jinayat
(pidana), Qadha (peradilan) dan Imamah (politik). Dalam
buku-buku hadits kita juga melihat bahwa bab ibadah personal jauh lebih sedikit
dibanding bab-bab yang lain. Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, sebuah
kitab hadits paling populer, misalnya hanya mengupas persoalan ibadah dalam
empat jilid dari dua puluh jilid yang menghimpun bab lainnya. Ini jelas
menunjukkan bahwa perhatian Islam terhadap persoalan-persoalan publik jauh
lebih besar dan lebih luas daripada perhatian terhadap persoalan-persoalan
personal. Dalam sebuah kaedah fiqh disebutkan : “al Muta’addi afdhal min al
Qashir”.(Amal ibadah yang membawa effek lebih luas lebih utama daripada
amal ibadah yang membawa efek terbatas). Al Ghazali mengungkapkannya dengan
bahasa : “al Naf’ al muta’addi a’zham min al naf’ al qashir”(ibadah yang
memberi manfa’at yang menyebar lebih agung daripada ibadah yang membawa
manfa’at kepada diri sendiri).(Bidayah al Hidayah, hlm. 34) Terhadap hal
ini Abu Ishak al Syirazi dan Imam al Haramain mengatakan bahwa orang yang
melaksanakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) acapkali memiliki nilai
lebih ketimbang kewajiban individual (fardhu ‘ain) karena ia dapat
membebaskan kesulitan banyak orang.(Al Suyuthi, Al Asybah wa al Nazhair,
99).
Akhirnya
Sesudah
membaca meski serba sedikit keterangan di atas, maka ada tidak jalan lain bagi
kaum muslimin terutama di Indonesia sekarang ini untuk melangkah lebih
progresif melakukan aktifitas-aktifitas sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan
sebagai bentuk perwujudan dari pengabdiannya kepada Tuhan. Kemiskinan,
keterbelakangan, kebodohan dan sejumlah krisis lain yang tengah menghimpit
bangsa kita tampaknya tidak cukup hanya diatasi dengan melakukan ibadah-ibadah
individual, tetapi juga dengan perjuangan meningkatkan kecerdasan masyarakat,
penegakan hukum dan keadilan, solidaritas sosial dan membebaskan penderitaan masyarakat.
Sejarah kehidupan kaum muslimin awal memperlihatkan kepada kita bahwa mereka
tidak pernah melakukan dikotomisasi antara ibadah individual dan ibadah sosial.
Malam-malam kaum muslimin generasi awal adalah malam-malam yang khusyuk dalam
sujud dan membaca al Qur-an, sementara siang hari mereka adalah langkah-langkah
gemuruh kaki kuda dan kerja-kerja kemanusiaan. Seluruh perjuangan untuk
mewujudkan tatanan sosial yang adil dan menegakkan martabat kemanusiaan adalah
ibadah, pengabdian kepada Tuhan.